Hikmah Pelajaran dari Kisah Laron Laron Terbang

“Apakah manusia mengira mereka akan dibiarkan sekadar mengucapkan ‘kami telah beriman’ tanpa diuji lebih dulu? Sungguh Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka sehingga Allah mengetahui mana di antara mereka yang betul-betul beriman dan mana pula yang cuma pendusta belaka.”
(Q.S. Al ‘Ankabuut: 2 – 3 )

Laron, kelakatu, anai-anai bersayap atau flying ant adalah binatang lemah yang termasuk ordo Isoptera. Mereka menggeliat dan bermunculan dari kelembaban sesudah hujan mulai reda dan udara cerah kembali.
Di tengah gelap malam laron pun bertebaran mendatangi sinar lampu yang benderang. Tragisnya mereka akan segera berguguran di bawah lampu yang didambakannya. Menyaksikan kejadian ini, dengan penuh keheranan lampu pun bertanya, “Mengapa kalian lakukan semua ini? Pergilah menghindar. Jangan dekati aku.”
“Tidak tuanku. Izinkanlah kami senantiasi mendekatimu. Kami merindukan cahayamu yang terang dan indah itu,” jawab laron dengan penuh harap.
“Nestapa, sungguh nestapa. Kerinduanmu itu akan mendatangkan bahaya bagimu,” ucap lampu.
“Bahaya apakah tuanku, tolong ungkapkan.”
“Tidakkah engkau sadar, dalam perjalanan mencariku engkau akan dihadang burung layang-layang yang bakal memangsamu?”
“Wahai tuanku, mati dalam mengejar cita-cita bukanlah nestapa, melainkan kebahagiaan. Dihadang burung tidak kami anggap sebagai bahaya wahai tuanku.”
“Kuingatkan sekali lagi. Perbuatan kalian itu sia-sia belaka.”
“Mengapa begitu tuanku? Mengapa tuan katakan sia-sia usaha kami mendatangi cahayamu?”
“Tidakkah kalian lihat betapa kawan-kawanmu telah berguguran, jatuh tersungkur di bawah naungan cahayaku? Bukankah bangkai mereka telah bertimbun-timbun, bersilang tindih di bawah keindahan cahayaku? Niscaya engkau pun akan mengalami nasib serupa mereka.”
“Tidak, tuanku. Itu bukan sia-sia. Itu adalah keberuntungan yang sempurna. Kalaulah mati adalah mati, bukankah mati di dalam cahayamu jauh lebih mulia daripada mati di kolong yang lembab dan gelap pekat?”
“Tapi di kolong itu kalian terlindung dari serangan burung layang-layang. Tidakkah hal itu lebih baik bagimu?”
“Tidak, tuanku. Kami bersengaja datang mencari cahayamu agar kami terbebas dari kelembaban dan kegelapan. Kami telah berputar-putar mencari cahayamu. Seandainya kami mati oleh panas sinarmu. Seandainya kami mati lantaran mencari sinarmu. Sungguh kematian semacam itu merupakan kebahagian tiada tara bagi kami.”
“Tidakkah kalian ngeri menyaksikan timbunan bangkai kawan-kawanmu di bawah gemerlap cahayaku?”
“Mengapa harus ngeri tuanku? Mereka pun rela mati di dalam kungkungan sinar indahmu. Sebab terjerembab mati di bawah naunganmu bukan kesengsaraan dan bukan pula nestapa, serta sungguh tidak sia-sia. Kami hidup untuk mencari terangmu. Sesudah kerinduan itu terlampiaskan biarlah kami bertumpuk menjadi bangkai, biarlah kami sirna ke dalam tiada, asalkan engkau rela akan kedatangan kami.”
Kehidupan laron-laron itu mengingatkan kita pada kehidupan para sufi yang sering menyendiri, yang bagi sebagian orang dianggap menyengsarakan diri sendiri. Sebetulnya tidak demikian. Sebab di sanalah para sufi itu memperoleh kebahagiaan dalam mencari Nur Ilahi, Cahaya Tuhan. Mereka tengah mencari kebenaran yang hakiki.
Apabila kebenaran adalah kiblat maka jalan menuju ke sana bisa menghadap ke barat, timur, utara atau selatan, tergantung dari arah mana kita mulai melangkah. Kebenaran tidak pernah bergeser dari sumbunya, ia tegar berdiri di tempat sediakala. Sebab Sang Kebenaran berasal dari Sang Maha Besar. Dan hanya Kebenaran itulah yang hakiki. Tidak ada Kebenaran kecuali yang satu itu, seperti firman Allah SWT: “Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.” (Q.S. Al Baqarah: 147).
Adapun jika kemudian seolah-olah ada perbedaan cara untuk mencapai yang hakikat itu, agar manusia dapat mengenal Sang Maha Besar lebih dekat dalam peringkat yang makrifat, yang serba arif, tidak berarti bahwa syariat boleh dibengkalaikan. Lantaran yang terpokok adalah melaksanakan syariat (hukum-hukum agama yang baku), mengingat syariat itulah asas ajaran Islam. Sebagaimana Rasulullah pernah bersabda:
“Yang mula pertama bakal dihitung di depan Allah adalah shalat. Apabila baik shalatnya, maka baik pula semua amal kebajikannya. Tetapi kalau rusak shalatnya, rusak juga seluruh amalnya.”
Jadi sebetulnya syariat, tarikat, hakikat, dan makrifat adalah seperangkat upaya untuk mencapai kemahabenaran. Dan sepanjang kemahabenaran hanya berada di tangan Allah, berarti segenap upaya itu pada hakikatnya bertujuan untuk berakrab-akrab mendekatkan diri kepada Allah, bertaqarrub kepada-Nya.
Demikian pula perilaku ganjil yang sering dijumpai pada para penganut tasawuf yang dalam ukuran orang kebanyakan adalah tidak rasional, justru merupakan hak setiap hamba Allah untuk melakukan atau tidak melakukannya. Kita tidak berkewajiban untuk dipaksa mengikuti, seperti juga kita tidak berhak memaksa mereka untuk mengikuti jalan pikiran kita. Karena semua perkara yang dilakukan secara sukarela adalah kebahagiaan, dan memaksa orang lain untuk melaksanakan cara kita adalah kesewenang-wenangan. Ya, betapapun baiknya niat orang yang memaksa, selama yang akan dipaksa tidak menyeleweng dari akidah dan syariat Islamiyah, maka tindakan memaksa itu sungguh tidak arif.
Perilaku laron-laron yang senantiasa mendekati cahaya lampu dan rela mati di dalam kungkungan sinar lampu, seolah sedang bertanya kepada umat manusia dengan mengumandangkan firman Allah SWT dalam surah Al ‘Ankabuut ayat 2 dan 3:
“Apakah manusia mengira mereka akan dibiarkan sekadar mengucapkan ‘kami telah beriman’ tanpa diuji lebih dulu? Sungguh Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka sehingga Allah mengetahui mana di antara mereka yang betul-betul beriman dan mana pula yang cuma pendusta belaka.”
Sebab mereka yakin akan janji Allah bahwa mati dalam meniti jalan menuju kepada-Nya adalah kehidupan kekal yang tiada bandingan.
“Janganlah kalian mengira bahwa mereka yang gugur di jalan Allah itu mati. Bahkan sebaliknya. Mereka itu hidup, di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki berlimpah.” (Q.S. Ali ‘Imran: 169). Robani Bawi
Semangat..

4 thoughts on “Hikmah Pelajaran dari Kisah Laron Laron Terbang

Leave a comment